Jangan Saling Menghakimi

16.47

Yakobus 4 : 11-12

Martin Luther menganggap surat Yakobus tidak penting. Itu adalah kesalahannya yang terbesar. Mengapa dia beranggapan seperti itu? Karena dia menilai kitab dari unsur injil yang ada di dalamnya, maka baginya, empat injil adalah yang terpenting. surat Roma yang menguraikan injil juga sangat penting, Kisah para Rasul yang mengisahkan pemberitaan injil juga penting, Yakobus yang tidak banyak berbicara injil, dia anggap tidak penting. Saya kira, kalau saja Martin Luther mau lebih mendalami surat Yakobus, tentu dia tidak akan mengategorikan Yakobus sebagai jerami. Saya menemukan Yakobus membahas keseimbangan antara iman dan kelakuan, bahkan kelakuan adalah wujud dari iman yang sejati: tanpa kelakuan, iman itu mati adanya. Mengapa 100 tahun setelah Retormasi, di gereja Lutheran ada banyak orang Kristen yang hidupnya tak berbeda dengan non Kristen? Karena mereka mengabaikan kelakuan. Sementara orang Katholik, begitu menjunjung tinggi kelakuan, sampai-sampai menganggapnya sebagai salah satu syarat orang diselamatkan. Baik yang mengabaikan atau yang terlampau meninggikan kelakuan, kedua-duanya bukan ajaran Alkitab.

Alkitab mengajarkan kita dibenarkan hanya melalui iman, tapi iman yang sejati harus nyata di dalam kelakuan. Setiap kali kita berbicara tentang kelakuan, tentu kita langsung mengaitkannya dengan Taurat, karena Taurat adalah hakim, Taurat mencelikkan mata manusia akan dosa-dosanya. Di saat yang sama Taurat juga menyatakan fungsi positifnya, mencerminkan: 1. keadilan Allah. 2. kesucian Allah. 3. kebajikan Allah —sifat-sifat llahi yang tidak mungkin kita dapati di dalam agama. Karena agama hanya menawarkan keinginan orang untuk merefleksikan sesuatu yang tertinggi. Tapi Taurat, Allah yang tertinggi menyatakan diriNya yang suci, adil, bajik; sifat Allah yang Esa pada manusia. Maka saat orang membaca Taurat, seharusnya bukan merasa bangga atas apa yang sudah dia lakukan, melainkan menemukan kekurangan, dosa, cacat cela dirinya, menyadari Allah yang suci tidak menginginkan hidup kita cacat, Allah yang adil tidak menginginkan hidup kita tidak adil, Allah yang bajik tidak menginginkan kita hidup tidak bajik, dan belajar rendah hati. Apakah kegagalan yang terbesar dari or­ang Yahudi? Menjadikan Taurat sebagai kebanggaan bangsa: hanya kami, satu-satunya bangsa yang Tuhan percayakan Taurat, maka kamu, bangsa-bangsa yang tidak memilik Taurat, tidak berbeda dengan anjing. Apakah Tuhan menginginkan penerima TauratNya menyombongkan diri? Sama sekali tidak. Apa bedanya orang Kristen dan non Kristen? Sebenarnya tidak beda, karena semua manusia dicipta oleh Tuhan, jatuh di dalam dosa, harus binasa, hanya saja, orang Kristen menerima anugerah pengampunan dosa dari Tuhan, bukan karena dirinya lebih baik dari orang lain. Saat satu bangsa membanggakan diri lebih superior dari bangsa lain, pasti akan memberlakukan diskriminasi, dan punahlah damai, kerukunan yang ada di masyarakat. Bukankah ketegangan di masyarakat terjadi sering kali disebabkan oleh agama yang radikal, oleh orang-orang yang memperalat agama? Itulah sifat dosa manusia. Setelah mengerti Taurat, seorang seharusnya lebih takut pada Tuhan, lebih menyadari keberadaannya yang najis, tak punya pengharapan, karena di hadapan Allah, tak seorangpun yang beres, yang luput dari hukumanNya. Jadi, apakah Taurat diberikan untuk membuat kita putus asa? Tidak! Maksud Allah memberi Taurat adalah memberitahu semua manusia telah gagal, perlu datang padaNya dengan rendah hati, berharap padaNya, menemukan jalan keluar; pengharapan baru. Jadi, tujuan Tuhan memberi kita Taurat bukan untuk menghancurkan kita, melainkan menyadarkan kita sudah berdosa, lalu re­turn to your Creator, kneel down before Him and ask His blessing. Selain itu, setelah kita mengerti hukum Tuhan, bolehkah kita memakainya untuk menghakimi orang: kau sudah berzinah, membunuh, berbohong....? Celakalah orang yang mendengar khotbah untuk orang lain: khotbah pak Tong hari ini bagus sekali untuk si A, sayang dia tidak datang. Minggu berikutnya, dia berpikir: khotbah ini cocok untuk si B.....jadi, kapan khotbah yang dia dengar cocok untuk dirinya? Orang seperti itu, kerohaniannya tak mungkin maju. Itulah yang dimaksudkan ay. 11, jangan saling menghakimi, jangan saling menfiinah {terjemahan lain: mengeritik). Kalau begitu, saat kita tahu seorang saudara melakukan sesuatu yang tidak beres, bolehkah kita memberitahunya? Waktu seorang tertidur di tepi jurang, apakah kau berkata, dia tidur dengan nyenyaknya, jangan ganggu dia! dan ternyata baru kau berjalan 10 langkah, dia terjatuh ke jurang, bagaimana perasaanmu, bisakah kau berkata, tidur di sana adalah kebebasannya, biar dia sendiri yang menanggung resikonya? Tidak! Jadi, setelah kita mengerti Jaurat, mari kita belajar, tidak menggunakannya sebagai alat untuk menghakimi, mengeritik, menfitnah orang, membuat orang down, melainkan menasehati, memberi kritik yang membangun; konstruktif. Ini penting sekali. Jadi, soal utamanya bukan boleh atau tidak menghakimi orang, melainkan: kebenaran yang kau tahu itu menjadi berkat atau malah menjadi batu sandungan buat orang? Why we know the law, why we understand the Bible, why we listen to the word of God, seharusnya untuk mencerahkan, membangun, mengubah or­ang. Tapi sering kali faktanya tidak seperti itu, kita memakai firman Tuhan yang baru kita mengerti sedikit itu untuk menyerang, menghancurkan orang. Di gereja, ada orang-orang yang tidak mau studi teologi, tapi mau menjadi Pendeta, pemikirannya tidak sejalan dengan seluruh doktrin, dan tidak mau dikeritik. Alasannya, Alkitab mengajarkan, jangan kamu menghakimi orang. Meski pendengarnya menerima pengajaran salah darinya, dia tetap tidak mau dikritik. Itu sangat berbahaya! Mengapa Alkitab mengatakan, jangan saling mengeritik, saling menfitnah? Ingat: mengapa Allah memberikan Taurat? Menyatakan kesucian, keadilan dan kebajikan Allah, menyatakan kita sudah melanggar Taurat, supaya kita rendah hati bukan menghakimi orang. Jadi, orang yang memiliki Taurat juga harus memiliki kasih. Karena who has love, he can accomplish the law (Rm.13). Orang Israel tahu, Taurat melarang orang berzinah, maka saat mereka menemukan seorang perempuan berzinah, merekapun mendobrak pintu, si pria segera kabur, si wanita ditangkap dan dihadapkan pada Yesus dengan pakaian ala kadarnya, menangis tersedu-sedu, menahan rasa malu. Kata mereka "Rabi, menurut ajaran Musa, orang yang berzinah harus dirajam batu sampai mati". Siapa tidak tahu perintah itu, mereka adalah orang-orang yang mengerti bahkan menghafal Taurat, tapi apa gunanya mereka mengerti Taurat? mematikan or­ang sambil membanggakan diri telah menjalankan Taurat. Yesus tidak menjawab, karena Dia tahu pikiran mereka yang jahat. Kalau memang orang yang berzinah harus dirajam batu sampai mati, mengapa mereka melepas si pria, hanya menangkap si wanita yang lemah? Taurat menyatakan keadilan Tuhan, mereka yang sudah mendengar Taurat bukan saja tidak mengerti keadilan Tuhan malah melawan keadilanNya, bukankah itu berarti dosa mereka double, mengundang hukuman ganda dari Tuhan. Terlihat di sini, orang beragama yang tidak sungguh-sungguh mengerti apa itu agama akan memperalat agama untuk melampiaskan sifat dosanya, itu lebih berbahaya dari or­ang yang tidak mengenal Allah. Sungguh, kejahatan yang terselubung; yang tidak kita sadari akan sedikit demi sedikit muncul, mana kala kita tidak mengerti prinsip total dari Taurat dengan baik: bukan hanya supaya kita mengenal Tuhan, menyadari keberadaan kita yang berdosa, juga supaya kita datang pada Tuhan, minta pengampunanNya, berharap pada anugerah Yesus Kristus yang sejati. Orang Israel berkata: Rabi, menurut ajaran Taurat, wanita ini harus dirajam batu sampai mati, bagaimana pendapatMu? Kalau Yesus menjawab ya, Dia masuk perangkap mereka. Kalau Yesus menjawab: tidak, Dia melanggar Taurat Musa dan Diapun harus mati. Maka Yesus tidak menjawab ya atau tidak: boleh atau tidak boleh. Dia menjawab dengan bijaksana, siapa di antara kamu yang tidak berdosa boleh pertama-tama melempari dia dengan batu ( bukan merajam batu sampai mati}. Itu artinya, saat mereka hendak melempari dia, perlu berpikir dulu: aku sendiri punya dosa atau tidak. Saat itulah, Roh Kudus memberi pencerahan pada setiap orang yang ada di sana. Ada yang sudah menggenggam batu mau melempari dia, lalu teringat, kemarin dulu, aku baru saja mencari pelacur, aku......Tuhan membuat mereka merasa malu, mereka satu per satu, dari yang tua sampai yang muda pergi. Artinya tak ada orang yang tak berdosa. Sesudah mereka semua pergi, Yesus bangkit berdiri, perempuan itupun memandangiNya dengan gemetaran, Yesus bertanya, tidak adakah orang yang menghakimimu? Aku juga tidak menghakimimu. Mengapa Yesus mengucapkan statement itu? Karena Anak manusia datang bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Misi itu Dia jalankan dengan konsisten: Taurat diberikan agar manusia berpaling, beroleh keselamatan bukan binasa. Terlihat di sini, seluruh Alkitab punya kaitan organik, tak mungkin difragmentasikan. Jadi, bolehkah orang Kristen sambil mendengar khotbah sambil berdosa, sambil mengerti firman Tuhan sambil melanggar Taurat? Perhatikan kalimat berikutnya: pergilah! Jangan berdosa lagi. Inilah solusinya. Plato bertanya, mengapa kita menghukum orang, karena kesalahannya atau supaya dia tidak mengulangi kesalahannya? — dua hal yang berbeda. Di Malaysia, setiap tahun ada orang yang dihukum gantung karena menyelundupkan narkotik, agar dia tidak melakukan hal itu lagi, tapi yang lebih penting: supaya orang lain tidak berani melakukan hal yang sama. Tapi bisakah hukuman mati membuat orang jera? Tidak, semua orang memandang diri lebih hebat dari orang lain: orang lain tertangkap, saya tidak akan tertangkap. Kata Yesus pada perempuan itu: tidak ada orang yang menghukummu? Aku juga tidak menghukummu. Pergilah, jangan berbuat dosa lagi! Bijaksana Kristus tiada taranya, motivasiNya datang ke dunia jelas tercantum di Alkitab: Anak manusia datang bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan: menolong manusia berpaling. Ay. 11 jangan saling menghakimi, jangan saling menfitnah, karena yang menfitnah saudaramu menfitnah hukum. Apa maksudnya? Tuhan memberikan Taurat bukan untuk mematikan, melainkan untuk memberi pengertian pada manusia: kau sudah jatuh di dalam dosa, kau perlu diselamatkan. Misalnya, setelah seorang yang terus menerus batuk pergi melakukan X-ray, ditemukan setengah dari paru-parunya sudah hancur, apa solusinya? Hanya dua: menunggu mati atau mencari dokter yang betul-betul pintar. Tergantung dia memandangnya dari segi positif atau negatif, dia optimis atau pesimis dan sampai di mana imannya. Begitu juga cara kita memperlakukan saudara, kalau kita menemukan dia melanggar hukum ini dan itu, apakah dia harus dihukum mati, karena kita pikir hukum Tuhan untuk memusnahkan orang. Padahal kalau kita berbuat seperti itu, kita menyakiti hati Tuhan, di dalam hal memakai hukum yang Dia beri sebagai dasar untuk mematikan orang. Jadi, kalau kita menghakimi, menfitnah orang, sama dengan menghakimi, menfitnah Taurat — dosa yang amat berat! Kata Paulus, waktu itu, aku memenjarakan, menganiaya orang Kristen, karena pikirku, aku sedang melayani Tuhan. Tapi kata Tuhan, kamu kira kamu sedang melayaniKu? Tahukah kau pelayananmu itu melawan kehendakKu? Jangan menghakimi saudaramu dengan Taurat, karena menghakimi bukan tujuan Taurat diberikan, meski Taurat sendiri mengandung unsur menghakimi. Ingat: Tuhan yang memberi Taurat juga Tuhan yang mengutus Kristus untuk menggenapkan apa yang tidak mungkin digenapkan oleh Taurat. Orang yang satu tangannya memegang Taurat, tangan lainnya kosong, hanya bisa menjadi penghakim. Sementara, orang yang satu tangannya memegang Taurat, dan tangan lainnya memegang injil; Kristus dan keselamatan akan membawa sesamanya berharap pada pengampunan yang telah Kristus genapkan. Itu sebabnya, jangan menghakimi. Kalau kau menghakimi orang, kau menghakimi Taurat. Dan orang yang menghakimi Taurat bukanlah pelaku Taurat. Orang Israel menangkap basah perempuan yang berzinah itu, apakah hidup mereka sendiri beres? Tidak. Orang yang tidak beres, menghakimi orang lain yang tidak beres, hanya karena dia merasa dirinya sedikit lebih beres dari orang itu, tentu tidak adil bukan? Ay. 12 penting sekali. Terjemahan lain: Pembuat Hukum dan Hakim hanya satu, yaitu Dia yang sanggup menyelamatkan juga sanggup membinasakan — dua sesi dari pekerjaan Tuhan. Hanya Dia yang betul-betul sanggup menghakimi dan yang rela menyelamatkan. Apa bedanya manusia dengan Tuhan? Tuhan tahu dosa manusia tapi Dia bersedia mengampuni dosanya. Manusia tahu dosa sesamanya, dia hanya bisa menghakimi, tidak berkuasa menyelamatkan. Orang yang tahu Taurat lalu menghakimi semua orang dengan or­ang yang tahu Taurat lalu membawa or­ang berpaling pada Yesus Kristus, berbeda motivasi. Jadi, ada dua macam orang Kristen: you know everything in order to con­demn or you know everything in order to correct. Seorang dokter yang baik mendiagnosa penyakitmu dengan tepat, memberimu obat yang tepat, yang diperlukan dan yang menyembuhkan. Mari kita menjadi dokter bagi orang berdosa, bukan menghakimi melainkan menolongnya, membimbingnya berpaling pada Tuhan, hingga zaman ini menjadi lebih baik, karena kehadiran kita yang mengerti firman. Cegahlah kerusakan, tamballah semua lobang, jadilah berkat bagi orang. Inilah berita dari 2 ayat ini: the God Who gave the Law, He is the One Who con­demn and also the One Who save. He sent Jesus Christ not to condemn but to save. Do you want to cooperate with Jesus Christ to edify others, to cure this sinful world, to shine forth your light, to illuminate this dark world, and bring people back to God? Karena kau mengerti firman bukan untuk menghakimi melainkan untuk membawa orang diselamatkan, amin?

(ringkasan khotbah ini be/um diperiksa oieh pengkhotbah —EL)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images